kata hikmah

"Merendahlah engkau seperti bintang gemintang, berkilau dipandangorang di atas riak air dan sang bintang nun jauh tinggi..
Jangan seperti asap yang mengangkat diri tinggi di langit padahal dirinya rendah hina." (alm. ust. rahmat abdullah)

Selasa, 17 Januari 2012

DEMODECOSIS PADA ANJING

LAPORAN KOAS PPDH LABORATORIUM PARASIT

PENDAHULUAN
Parasit merupakan organisme kelompok hewan yang untuk dapat mempertahankan hidupnya membutuhkan makhluk hidup lain sebagai sumber makanan dan sumber kehidupan, sehingga merugikan dan bahkan dapat membunuh induk semang tempatnya menumpang hidup. Secara global penyakit parasit terus menjadi kendala utama bagi negara-negara berkembang seperti indonesia.
Anjing merupakan salah satu hewan peliharaan yang banyak digemari, karena rata-rata anjing mempunyai kecerdasan dan kepintaran yang tinggi serta sangat setia pada tuannya apabila dirawat dengan baik (Anonimus, 2004).
Berbagai spesies parasit kulit telah diketahui menyebabkan penyakit pada anjing yang tingkat sakitnya sangat bervariasi. Salah satu penyakit yang disebabkan oleh parasit kulit adalah demodekosis yang disebabkan oleh tungau (mite) Demodex sp. Tungau ini termasuk tipe pembuat terowongan dalam kulit induk semangnya. Hewan yang diserang hampir semua mamalia termasuk manusia dan distribusi telah menyebar ke seluruh negara.
Demodex sebenarnya merupakan fauna normal di tubuh anjing yang hidup pada folikel rambut maupun kelenjar sebasea dengan memakan sebum serta debris (runtuhan sel) epidermis. Peningkatan populasi parasit ini secara berlebihan berdampak pada terjadinya gangguan pada kulit anjing.
Spesies tungau dari demodex yang sering ditemui antara lain D. canis (pada anjing), D. bovis (pada sapi), D. phyllodes (pada babi), D. folliculorum pada manusia.
Tujuan dari pemeriksaan ini adalah untuk dapat mengidentifikasi jenis-jenis ektoparasit pada berbagai spesies hewan dan mengetahui tindakan awal pengendalian penyakit yang dapat ditimbulkan.

MATERI DAN METODE PEMERIKSAAN

Waktu dan Tempat Pemeriksaan
Pengambilan sampel dilakukan pada tanggal 6 Juli 2011 di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan Unsyiah.

Alat dan Bahan Pemeriksaan
Alat yang digunakan dalam pemeriksaan adalah mikroskop (olympus), objek glass, cover glass, scalpel. Bahan yang digunakan adalah minyak emersi, NAOH 10%.

Metode Pemeriksaan dan Identifikasi
Sampel yang digunakan adalah seekor anjing betina dengan gejala kurus, bulu kusam dan tidak merata (alopecia) serta banyak keropeng diseluruh tubuh. Selanjutnya anjing di restrain agar memudahkan pengambilan kerokan kulit.


Dari hasil pemeriksaan kerokan kulit (skin scrap) kemudian di amati dibawah mikroskop pembesaran 10X. Untuk identifikasi lihat kunci di buku penuntun praktikum parasitologi.

Cara Kerja
• Skalpel dicelupkan ke dalam minyak emersi
• Kulit induk semang yang mau di diagnose ditarik dengan jari telunjuk dan ibu jari
• Pegang skalpel dengan mata yang tegak lurus terhadap kulit dan di kerok sampai darah mulai keluar
• Hasil kerokan yang melekatdi skalpel dipindahkan ke objek glass dan campurkan NaOH 10%
• Diamati bawah mikroskop dan diidentifikasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil pemeriksaan dipermukaan kulit anjing ditemukan ektoparasit berupa tungau yang termasuk dalam klasifikasi:
Phylum : Arthropoda
Class : Arachnida
Ordo : Acarina
Sub ordo : Trombidiformis
Family : Demodicidae
Genus : Demodex
Spesies : Demodex canis (Anonimus, 2011b)
 Gambar 1: Demodex dewasa dibawah mikroskop pembesaran 40 X

Tungau ini memiliki bentuk tubuh memanjang seperti wortel dengan ukuran yang bervariasi, umumnya memiliki panjang 0,25 mm dan lebar 40 µm sehingga hanya dapat dilihat di bawah mikroskop menggunakan metode skin scrap. Tubuh tungau terdiri atas kepala dan thoraks yang menyatu. Abdomen yang panjang, dilengkapi dengan empat pasang kaki yang pendek, tumpul dan terdiri atas lima ruas. Bagian mulut memiliki sepasang palpus dan chelicerae serta hipostom tunggal seperti yang terlihat pada gambar 1.
 Gambar 2: Immatur demodex dibawah mikroskop pembesaran 40 X
Ada 2 tipe demodekosis yang dikenal yaitu:
1. Demodekosis Lokal, atau demodekosis skuamosa berupa aplopesia melingkar pada satu atau beberapa tempat berukuran kecil, eritema, daerah tersebut bersisik dan mungkin saja tidak nyeri atau nyeri, kebanyakan ditemukan pada wajah dan kaki depan. Sifat penyakit ini kurang ganas dan kebanyakan kasus ini bias pulih secara spontan.
2. Demodekosis General, biasanya berawal dari lesi lokal dan bila lesi tidak mengalami pengurangan secara spontan atau mendapat perawatan memadai akan menjadi lesio yang meluas (Anonimus, 2011a).
Siklus Hidup
Siklus hidup demodex berlangsung dalam tubuh inang yang terdiri atas lima tahapan yaitu telur berbentuk lonjong seperti gelondongan, menetas menjadi larva yang mempunyai enam buah kaki (protonimfa) dan deutonimfa berkaki delapan kemudian berkembang menjadi dewasa yang berlangsung antara 18-24 hari seperti tampak pada gambar 3.
Gambar 3: Siklus hidup demodex 

Tungau jantan dapat ditemukan di dekat permukaan kulit, sedangkan betina yang telah dibuahi meletakan 20-24 butir telurnya di dalam folikel rambut. Telur akan menetas menjadi larva kemudian menjadi nimfa, bergerak melewati aliran sebaceus (kelenjar keringat) ke muara dari folikel rambut dan disanalah mereka akan menjadi dewasa dan mengulangi siklus hidupnya.
Sedangkan transmisi demodex umumnya mulai terjadi melalui kontak langsung dari induk pada anak anjing terutama di minggu-minggu pertama kelahiran.
Patogenesa
Demodekosis digolongkan sebagai penyakit yang tidak menular Penggolongan ini diambil berdasarkan bahwa parasit Demodex canis umum terdapat pada semua anjing. Tungau ini menyebar 2-3 hari melalui kontak langsung dari induk ke anak sesaat setelah melahirkan dan selama anak dirawat induknya (Rahway 1991). Sebagian besar anak anjing mempunyai daya tahan tubuh atau immune terhadap demodex, sehingga tidak menunjukkan gejala klinis dan lesio, sedangkan ada beberapa anjing yang tidak mempunyai daya tahan tubuh sehingga menderita demodekosis.
Umumnya anjing dengan ras murni lebih sering terkena di bandingkan dengan ras campuran. Hal ini disebabkan adanya faktor predisposisi genetik seperti Dachshunds, pugs dan Bulldog dan ras lain seperti anjing berbulu pendek. Adapun faktor predisposisi lain seperti umur, nutrisi, stress, hypothiroidism, estrus dan suhu lingkungan. Kejadian demodekosis sering terjadi pada anjing umur tiga bulan sampai satu tahun karena kekebalan tubuh belum berfungsi sempurna. Jika terjadi pada hewan tua, hal ini karena hewan tersebut menderita dari masa mudanya dan terjadi defisiensi tanggap kebal yang disebabkan karena mengalami penyakit dalam yang serius.

Gejala Klinis
Gejala yang ditimbulkan tergantung bentuk dan lokasi yang ditimbulkan. Diantaranya bentuk lokal ditandai dengan adanya alopecia (kebotakan) yang parsial pada wajah terutama sekitar mata dan moncong anjing, juga pada daerah ekstremitas tubuh dan kulit kering yang tidak disertai rasa gatal. Bentuk umum ditandai dengan alopecia hampir semua bulu tubuh baik kepala, leher, lengan dan kaki sehingga bulu menjadi jarang dan tipis dan kulit terlihat berminyak. Bentuk ini biasanya diikuti penyakit dalam yang serius seperti tumor dan immunosuppresif. Sedangkan bentuk pododermatitis dicirikan dengan alopecia kemudian kulit menjadi kering dan kasar kemudian terjadi proses hyperpigmentasi yang menyebabkan kulit menjadi merah. Pada kasus yang berat menyebabkan hewan tidak nafsu makan, kekurusan, sepsis dan kematian.

Diagnosa
Dilakukan kerokan pada kulit yang agak dalam dari bagian tengah lesio/area kulit yang terkena demodex ke batas tepi antara kulit yang masih utuh dan kulit yang luka. Lalu diberi tetesan NaOH 10% untuk dilihat dibawah mikroskop. Umumnya akan terlihat telur dan demodek dewasa.

Diferensial diagnosa
Diferensial diagnosa demodex pada umumnya adalah pyoderma dan dermatophytosis.


Pengendalian dan Pengobatan
Treatment terhadap demodekosis lokal diantaranya :
1. Pemberian salep yang mengandung 1% rotenone (Goodwinol ointment) maupun gel benzoyl peroxide 5 % yang diaplikasikan sehari sekali setiap hari selama 1-3 minggu.
2. Mandi dengan shampoo yang mengandung benzoyl peroxide secara regular minimal seminggu sekali.
3. Pemberian amitraz yang telah diencerkan dengan konsentrasi 0.1% pada area alopecia sehari sekali selama 2 minggu.

Sedangkan treatment terhadap demodekosis general diantaranya :
1. Mandi dengan amitraz dengan konsentrasi 0.025% 2 kali seminggu. Adapun sebaiknya sebelum menggunakan amitraz, hewan terlebih dahulu dimandikan dengan shampoo yang mengandung benzoyl peroxide untuk mengurangi minyak dan runtuhan sel kulit mati. Sedangkan bagi hewan berbulu panjang, perlu dicukur terlebih dahulu agar obat lebih mudah meresap ke dalam kulit.
2. Pemberian ivermectin oral 200 μg/kg sehari sekali selama 2-4 minggu. Namun obat ini kontraindikasi untuk anjing jenis collie, shelties, australian shepherds, old english sheepdogs maupun hewan yang positif menderita heartworm karena faktor sensitivitasnya. Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh pemberian ivermectin diantaranya salivasi dan inkoordinasi. Pilihan obat lainnya selain ivermectin yaitu doramectin 1% injeksi yang diaplikasikan selang 2 minggu.
3. Pemberian antibiotik bila terjadi infeksi sekunder oleh bakteri (pyoderma).
4. Pemberian antihistamin bila terjadi kegatalan karena iritasi demodec pada kulit hewan.
Demodex berhubungan erat dengan kondisi imunodefisiensi, maka hewan sebaiknya tidak diberikan pengobatan menggunakan kortikosteroid karena bersifat imunosupresan sehingga dapat memperparah penyakit demodecosis. Hewan juga memerlukan asupan yang berkualitas dengan komponen gizi yang seimbang terutama untuk menjaga kesehatan kulit dan bulunya (Bunawan, 2009).

Kesimpulan
Demodex adalah flora normal pada kulit anjing, dan menimbulkan gangguan pada kulit anjing saat terjadi overpopulasi yang biasanya dikaitkan dengan kondisi kekebalan tubuh yang rendah (imunosupresi) pada hewan.

DAFTAR KEPUSTAKAAN
Anonimus. 2008a. Penuntun Praktikum Penyakit Parasitik Veteriner. FKH Unsyiah.

Anonimus. 2008b. Penuntun Praktikum Parasitologi Veteriner. FKH Unsyiah.

Anonimus. 2011a. Jenis-jenis Penyakit Anjing. http://www.porbi.com

Anonimus, 2011b. Studi Literatur: demodex canis. http://www.duniaveteriner.com.

Bunawan.A. 2009. Demodecosis Pada Anjing. http://pietklinik.com.

Winaruddin. 2008. Buku Ajar Parasitologi Veteriiner dan Penyakit Parasitik. FKH Unsyiah.

MIKROBIOLOGI TANAH

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Secara garis besar mikroorganisme memiliki habitat tersendiri sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan oleh mikroorganisme tersebut untuk mempertahankan sistem biologisnya atau di kenal dengan sistem biologi global. Sistem ini berada dalam lingkaran biosfer dan memiliki satu satuan ekologi yang saling berinteraksi antara mikroorganisme yang satu dengan yang lain yang dinamakan dengan interaksi ekosistem. Populasi mikroorganisme dalam ekosistem saling berinteraksi yang membantu memecahkan produk-produk organik yang komplek dalam bentuk sisa hewan, tumbuh-tumbuhan dan organik lain yang di istilahkan dengan organisme decomposer (Anonimus, 2007).
Organisme atau mikroorganisme decomposer dapat hidup dan ditemukan pada berbagai tempat yaitu ada yang berdiam sementara ddisebut dengan transient dan ada pula yang hidup permanen dalam berbagai tingkat generasi walaupun dalam kondisi yang tidak menguntungkan dinamakan dengan indigenous. Kebanyakan mikroorganisme dapat hidup pada habitat-habitat yang menguntungkan baginya seperti hidup di tanah, air, udara, dan makanan. Mikroorganisme yang hidup pada tanah dapat ditemukan dalam dua bentuk yaitu ada yang pathogen ( berbahaya) pada manusia dan hewan dan apathogen (tidak berbahaya) (Waluyo, 2009).
Baik secara langsung maupun tidak langsung, bahan buangan dan jasad dari manusia dan hewan, serta jaringan tumbuh-tumbuhan di buang atau di kubur dalam tanah. Setelah beberapa lama, bahan-bahan tersebut akan diuraikan menjadi komponen organik dan beberapa komponen anorganik tanah, penguraian tersebut dilakukan oleh mikroorganisme yaitu penguraian bahan organik menjadi substansi yang menyediakan nutrien bagi dunia tumbuhan. Tanpa aktifitas mikroorganisme tersebut segala ativitas di muka bumi ini lambat laun akan terhambat (Michael dan Chan, 1988).

TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Tanah
Mikrobiologi tanah adalah bagian disiplin mikrobiologi yang mempelajari kehidupan, aktivitas, dan peranan mikroorganisme di dalam tanah. Tanah merupakan lingkungan kompleks yang ditempati mikroorganisme beraneka ragam. Ciri-ciri lingkungan tanah bervariasi menurut letak dan iklimnya. Tanah juga memiliki kedalaman, sifat-sifat fisik, komposisi kimiawi dan asal yang berbeda. Komposisi tanah terdiri dari materi nonorganik 45% ( Si, Al, Fe, Ca, Mg, K, Na, P, dan lain-lain), materi organik 5 % (karbohidrat, protein, lipid, dan lain-lain), air (25 %) dan udara (25 %). sementara organisme di tanah terdiri dari vertebrata, invertebrata,dan mikroorganisme (Waluyo, 2009).
Golongan-golongan utama yang menyusun populasi mikroorganisme tanah terdiri atas prokariotik (bakteri dan actinomycetes, fungi, algae), mikrofauna (protozoa dan archezoa), mezofauna (nemathoda) makrofauna (semut, cacing tanah, dan lainnya), dan mikrobiota (mycoplasma, virus, viroid dan prion). Tetapi mikrobiologi tanah memfokuskan pada bakteri, jamur, dan virus yang terdapat pada tanah.
Dipermukaan tanah terdapat mikroorganisme dalam jumlah dan variasi yang banyak. Hal tersebut karena permukaan tanah mengandung banyak sumber makanan dari tumbuhan dan hewan. Biota tanah membentuk sistem berdasarkan energi dan sumber yang dihasilkan dari proses dekomposisi tumbuhan dan hewan. Dekomposer primer tanah adalah bakteri dan jamur. Dekomposer mengurai, mendaur ulang energi, karbon, dan nutrisi dalam tumbuhan dan hewan mati menjadi bentuk yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan. Karena itu, mikroorganisme memegang peran penting dalam proses kehidupan di bumi (Ahira, 2011).
Menurut Waluyo (2009) penyebaran mikroorganisme di tanah dipengaruhi oleh faktor pH dan suhu tanah. Penyinaran (radiasi) dari matahari juga berpengaruh besar terhadap kehidupan mikroorganisme di dalam tanah.

Peran mikroorganisme
Mikroorganisme tanah ada yang menguntungkan ada yang merugikan. Contoh peran yang menguntungkan adalah dalam siklus biogeokimia. Sedangkan peran merugikan diantaranya sebagai patogen pada manusia, hewan, dan tumbuhan.
Peranan mikroorganisme tanah dalam proses biogeokimia diantaranya adalah dalam siklus karbon dan siklus nitrogen. Pada siklus karbon, mikroorganisme mengubah sisa-sisa jasad tumbuhan dan hewan menjadi karbondioksida dan bahan organik tanah yang disebut humus. Humus meningkatkan kapasitas tanah untuk menampung air, menyediakan nutrisi untuk tumbuhan dan mendukung pembentukan tanah. Pada siklus nitrogen terjadi beberapa reaksi/proses yaitu:1) amonifikasi, 2) nitrifikasi 3) denitrifikasi, 4) fiksasi nitrogen. Mikroorganisme yang berperan dalam proses fiksasi nitrogen seperti: Azotobacter, Beijerinckia, Clostridium, Klebsiella, Enterobacter, Bacillus, Rhodospirillum, Chlorobium, Cyanobacteria, populasi tertinggi ditemukan adalah Rhizobium sp (Brock dan Madiqan, 1991)
Beberapa jamur yang biasa ditemukan pada tanah diantaranya adalah Penicillium sp., Trichoderma harzianum., Rhizopus sp., Humicola sp., Fusarium sp., Phytophthora infestans., dan Aspergillus sp. Jamur tanah merupakan salah satu mikroorganisme yyang paling banyak ditemui di tanah. Kebanyakan jamur pathogen terhadap tanaman (Purwantisari dan Rini, 2009).
Spesies Aspergillus merupakan jamur yang umum ditemukan di tanah. Meskipun terdapat lebih dari 100 spesies, jenis yang dapat menimbulkan penyakit pada manusia ialah Aspergillus flavus, Aspergillus niger, dan Aspergillus fumigatus yang semuanya menular dengan transmisi inhalasi. Umumnya Aspergillus akan menginfeksi paru-paru. Aspergillus dapat menyebabkan banyak penyakit pada manusia, bisa jadi akibat reaksi hipersensitivitas atau invasi langsung. Penyakit yang ditimbulkan diantaranya adalah aflatoxicosis, aspergillosis, dan aspergillosis.

Mikroorganisme Tanah Yang Pathogen
Kebanyakan mikroorganisme disini bersifat apatogen bagi manusia. Beberapa mikroorganisme dapat bertahan melalui adanya ekskreta atau kadaver. Bakteri patogen yang terdapat di tanah antara lain: Clostridium tetani, Clostridium botulinum, Clostridium perfringens, dan Bacillus anthracis.

1. Clostridium tetani
C. tetani termasuk dalam bakteri Gram positif, anaerob obligat, dapat membentuk spora, dan berbentuk drumstick. Spora yang dibentuk oleh C. tetani ini sangat resisten terhadap panas dan antiseptik. Ia dapat tahan walaupun telah di autoklaf (1210C, 10-15 menit) dan juga resisten terhadap fenol dan agen kimia lainnya. Bakteri C. tetani ini banyak ditemukan di tanah, kotoran manusia dan hewan peliharaan dan di daerah pertanian. Umumnya, spora bakteri ini terdistribusi pada tanah dan saluran penceranaan serta feses dari kuda, domba, anjing, kucing, tikus, babi, dan ayam. Ketika bakteri tersebut berada di dalam tubuh, ia akan menghasilkan neurotoksin (sejenis protein yang bertindak sebagai racun yang menyerang bagian sistem saraf). C. tetani menghasilkan dua buah eksotoksin, yaitu tetanolysin dan tetanospasmin. Fungsi dari tetanoysin tidak diketahui dengan pasti, namun juga dapat memengaruhi tetanus. Tetanospasmin merupakan toksin yang cukup kuat. Perkiraan dosis mematikan minimal dari kadar toksin (tenospamin) adalah 2,5 nanogram per kilogram berat badan manusia.
Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka yang dalam yang berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka geser yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki yang berhubungan dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan.
Masa inkubasi tetanus umumnya antara 3-12 hari, namun dapat singkat 1-2 hari dan kadang lebih satu bulan. makin pendek masa inkubasi makin buruk prognosis. Terdapat hubungan antara jarak tempat masuk kuman Clostridium tetani dengan susunan saraf pusat, dengan interval antara terjadinya luka dengan permulaan penyakit; makin jauh tempat invasi, masa inkubasi makin panjang. Penyakit ini khas dengan adanya tonik pada ototv seran lintang, biasanya dimulai dari daerah sekitar perlukaan, kemudian otot-otot pengunyahan, sehingga akan mengalami kesukaran dalam mengunyah.

2. Clostridium botulinum
C. botulinum ditemukan dimana-mana, dalam tanah, sedimen didasar laut, usus dan kotoran binatang. C. botulinum adalah bakteri anaerobik, Gram positif, membentuk spora, berbentuk batang dan relatif besar. Spora bakteri dapat terhirup atau termakan, atau dapat menginfeksi luka terbuka. Walaupun demikian bakteri dan sporanya tidak berbahaya. Gejala botulism disebabkan oleh toksin yang diproduksi oleh bakteri tersebut. Toksin botulism merupakan toksin yang berbahaya, dengan dosis mematikan 200-300 pg/kg, yang berarti bila melebihi 100 gram dapat membunuh setiap manusia didunia (Anonimus 2006a).
Terdapat tujuh strain botulism, masing masing memproduksi protein yang berpotensi sebagai neurotoxin. Tipe A, B, E dan F menyebabkan botulism pada manusia. Tipe C-alpha menyebabkan botulism pada unggas domestik dan liar. Tipe C-beta dan D menyebabkan botulism pada ternak. Tipe ketujuh dari botulism, strain G, telah diisolasi dari contoh tanah, tetapi jarang dan belum menunjukkan hubungan yang menyebabkan botulism manusia atau binatang. Tipe A dan beberapa tipe B dan tipe F mendekomposisikan protein binatang dan menyebabkan bau dari makanan yang membusuk, dan daging busuk.
Tipe E dan beberapa tipe B,C, D dan F tidak proteolytic (mereka tidak mencerna protein binatang). Ketika muncul, tipe botulism ini tidak dapat terdeteksi dengan bau yang kuat (Anonimus 2006b).
Bakteri clostridium merupakan bakteri yang heat resistant dan dapat bertahan dari perebusan yang lama. Untuk menghancurkan spora yang ada, makanan harus dipanaskan hingga temperatur 120oC atau lebih, seperti dalam penggunaan pressure cooker. Racun yang diproduksi oleh bakteri dapat dihancurkan oleh panas. Untuk menghancurkan toxin yang bersumber dari makanan, makanan harus dipanaskan hingga 85ºC atau lebih selama lima menit, atau merebus sedikitnya selama 10 menit.
Bakteri botulinum akan berbahaya bila aktif secara metabolisme dan memproduksi racun botulinus. Dalam keadaan spora, botulinum tidak berbahaya. Panas dapat memungkinkan spora aktif dan berkecambah dan panas juga dapat membunuh bakteri lain yang menjadi saingan dengan Clostridium Botulinum dalam mendapatkan host (Anonimus 2006a).
Waktu inkubasi C. botulinum adalah 12 sampai 36 jam. Gejala klinis yang disebabkan intoksikasi diantaranya adalah gangguan pencernaan akut yang diikuti oleh pusing-pusing dan muntah-muntah, bisa juga diare, lelah, pening dan sakit kepala. Gejala lanjut konstipasi, kesulitan menelan dan berbicara, lidah bisa membengkak dan tertutup, beberapa otot lumpuh, dan kelumpuhan bisa menyebar kehati dan saluran pernafasan. Kematian bisa terjadi dalam waktu tiga sampai enam hari (Siagian 2002). Menurut Bayrak AO and Tilky HE (2006), gejala klinis akan muncul 2- 36 jam setelah mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi C. Botulinum (Anonimus, 2011).

3. Clostridium perfringens
C. perfringens secara luas dapat ditemukan dalam tanah dan merupakan flora normal dari saluran usus manusia dan hewan-hewan tertentu. Bakteri ini dapat tumbuh cepat pada makanan yang telah dimasak dan menghasilkan enterotoksin yang dapat mengakibatkan penyakit diare. Sayuran dan buah-buahan akan terkontaminasi sporanya melalui tanah. Makanan asal hewan (daging dan olahannya) akan terkontaminasi melalui proses pemotongan dengan spora dari lingkungan atau dari saluran usus hewan yang dipotong. Makanan-makanan kering sering menjadi sumber bakteri ini dan pembentuk spora lainnya. Ketahanan spora bakteri ini terhadap panas bervariasi di antara strain.
Secara garis besar spora dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu spora yang tahan panas (90° Celsius selama 15 sampai 145 menit) dan spora yang tidak tahan panas (90° Celsius, 3 sampai 5 menit). Spora yang tahan panas secara umum membutuhkan heat shock 75-100 derajat Celsius selama 5 sampai 20 menit untuk proses germinasi (perubahan spora menjadi bentuk sel vegetatif). Keracunan makanan oleh C. perfringens hampir selalu melibatkan peningkatan temperatur dari makanan matang. Hal ini dapat dicegah dengan cara makanan matang segera dimakan setelah dimasak, atau segera disimpan dalam refrigerator bila tidak dimakan, dan dipanaskan kembali sebelum dikonsumsi untuk membunuh bakteri vegetatif.
Klostridia menghasilkan sejumlah besar toksin dan enzim yang mengakibatkan penyebaran infeksi. Toksin alfa C. perfringens tipe A adalah suatu lesitinase, dan sifat letalnya sebanding dengan laju pemecahan lesitin menjadi fosforilkolin dan digliserida. Toksin teta mempunyai efek hemolitik dan nekrotik yang serupa tetapi bukan suatu lesitinase. DNase dan hialuronidase, suatu kolagenase yang mencernakan kolagen jaringan subkutan dan otot, dihasilkan juga.

4. Bacillus anthracis
B. anthtracis merupakan bakteri berbentuk batang dengan ukuran 1 x 3-4 πm, dapat tersusun seperti bambu. Sporanya terletak di sentral dan gerak negatif. Pada kultur tampak koloni putih abu2, tepi seperti rambut, tidak ada hemolisis pada agar darah.
Kuman anthrak bersifat zoonosis, biasanya menginfeksi ternak lembu, kambing, domba dan babi. Kuman dikeluarkan melalui feses, urin dan saliva binatang yang terinfeksi dan bertahan hidup di tanah dalam bentuk spora untuk waktu yang lama sekali yaitu sekitar 10 tahun. Pada manusia kuman anthrax dapat menyebabkan infeksi kulit, yang dapat berkembang menjadi toksemia. Biasanya terjadi pada peternak atau pekerja rumah pemotongan hewan. Infeksi paru-paru; wool sorters disease yang terjadi karena inhalasi spora dari bulu domba. Biasanya penyakit ini fatal. Selain itu B. anthtracis juga bisa menyebabkan infeksi selaput otak setelah bakteremia dan infeksi pada usus, khususnya infeksi pada usus halus yang disertai dengan gangren. Sebabnya adalah karena makan daging yang terinfeksi anthrax.
Beberapa alasan yang mendasari penyakit anthrax menjadi penting dan ditakuti karena kemampuan menular yang tersifat zoonosis, bakteri mampu membentuk spora yang mempunyai ketahanan tinggi di lingkungan, sehingga sulit dieradikasi. Pandangan umum anthrax identik dengan kematian menyebabkan kepanikan tersendiri. Dewasa ini penyakit anthrax semakin populer karena dapat digunakan sebagai senjata biologis.

KESIMPULAN
Tanah merupakan lingkungan kompleks yang ditempati mikroorganisme beraneka ragam. Mikroorganisme tanah ada yang menguntungkan ada yang merugikan. Kebanyakan mikroorganisme disini bersifat apatogen bagi manusia. Beberapa mikroorganisme dapat bertahan melalui adanya ekskreta atau kadaver. Bakteri patogen yang terdapat di tanah antara lain: Clostridium tetani, Clostridium botulinum, Clostridium perfringens, dan bacillus anthracis.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Ahira, A. 2011. Mikrobiologi Tanah. http://www. Anneahira.com/mikrobiologi-tanah.htm..

Anonimus. 2005. Botulism. http://www.siumed.edu/medicine/infec/patinfo/ current/botulism.htm.

Anonimus. 2006a. Mekanisme Botulinum Toksin. http://pkukmweb.ukm.my/~danial/Mekanisme%20toksin.html.

Anonimus. 2006b. Botulisme. http//www.medicastore.com.

Anonimus. 2011. Botulism. http://www.marlerblog.com/botulism-information/

Barnett, H.L. dan B.B. Hunter. 1972. Illustrated Genera of Imperfect Fungi. Burgess Publ. Co. Minneapolis.

Bayrak AO and Tilky HE, 2006. Electrophysiologic Findings in a Case of Severe Botulism. Journal of Neurological Sciences (Turkish). Volume:23, Number 1, Page(s) 049-053. http://www.jns.dergisi.org/text. phps?id=66.

Brock, TD dan MT. Madiqan. 1991. Biology of Microorganisms. Sixth ed. Prentice-HallInternational, Inc.

Michael J. Pelczar, jr., dan E. C. S. Chan. 1988. Dasar-Dasar Mikrobiologi. UI Press. Jakarta.

Purwantisari, S dan Rini, B. H. 2009. Uji Antagonisme Jamur Patogen Phytophthora infestans Penyebab Penyakit Busuk Daun dan Umbi Tanaman Kentang Dengan Menggunakan Trichoderma spp. Isolat Lokal. Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi FMIPA Undip.

Siagian A, 2002. Mikroba Patogen Pada Makanan dan Sumber Pencemarannya. http://www.beritaiptek.com.

Tortora Gerard J. et al. 1992. Microbiology an Introduction. Fourth Ed. The Benjamin Cummings Publishing Company, Inc.

Waluyo, L. 2009. Mikrobiologi Lingkungan. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang Press.

Selasa, 10 Januari 2012

PENGARUH NUTRIENT DAN TEKANAN TERHADAP PERTUMBUHAN MIKROBA

PENDAHULUAN
Pertumbuhan didefenisikan sebagai pertambahan kuantitas konstituen seluler dan struktur organisme yang dapat dinyatakan dengan ukuran, diikuti pertambahan jumlah, pertambahan ukuran sel, pertambahan berat atau massa dan parameter lain. Sebagai hasil pertambahan ukuran dan pembelahan sel atau pertambahan jumlah sel maka terjadi pertumbuhan populasi, begitu juga dengan mikroba.
Mikroba akan mengalami empat tahapan dalam proses pertumbuhannya yaitu: (1) Fase lamban (lag), pada fase ini tidak ada pertambahan populasi, namun sel mengalami perubahan dalam komposisi kimiawi dan ukurannya bertambah. (2) Fase logaritma (log) atau eksponensial, pada tahap ini sel membelah dengan laju konstan, aktivitas metabolik konstan, dan keadaan pertumbuhan seimbang. (3) Fase statis, dimana penumpukan produk beracun/kehabisan nutrien. Beberapa sel mati dan yang lain hidup membelah, pada tahap ini jumlah sel hidup tetap. (4) Fase penurunan/kematian, pada tahap ini sel mati lebih banyak daripada terbentuknya sel baru. Laju kematian mengalami percepatan menjadi eksponensial (Setiawan, 2009).
Dalam pertumbuhannya setiap makhluk hidup membutuhkan nutrient yang cukup serta kondisi lingkungan yang mendukung demi proses pertumbuhan tersebut, termasuk juga mikroba. Hastuti (2007) mengatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroba, antara lain: suhu, kelembapan, tekanan osmotik, cahaya, pH, AW dan nutrient.
Nutrient yang dibutuhkan oleh mikroba untuk bisa tumbuh adalah air, sumber karbon, aseptor elektron, nitrogen oksigen, mineral dan faktor penumbuh. Apabila faktor-faktor tersebut memenuhi syarat, sehingga optimum untuk pertumbuhan mikroba, maka mikroba dapat tumbuh dan berkembang biak (Tarigan, 1988).
Bahan pangan asal hewan selain merupakan sumber gizi bagi manusia, juga merupakan sumber pangan bagi mikroba. Karena pada bahan pangan tersebut terdapat nutrient esensial yang dibutuhkan oleh mikroba tersebut. Pertumbuhan dan aktivitas mikroba dalam bahan pangan dapat mengakibatkan perubahan fisik atau kimia yang tidak diinginkan, sehingga bahan pangan tersebut tidak layak dikomsumsi. Kejadian ini biasanya terjadi pada pembusukan bahan pangan. Namun pertumbuhan mikroba dalam bahan pangan juga dapat menyebabkan perubahan yang menguntungkan seperti perbaikan bahan pangan secara gizi, daya cerna ataupun daya simpannya (Siagian, 2002).

TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Pengaruh Nutrient Terhadap Pertumbuhan Mikroba
Untuk keperluan hidupnya semua makhluk hidup memerlukan bahan makanan. Bahan ini diperlukan untuk sintesis bahan sel dan untuk mendapatkan energi. Demikian juga dengan mikroba, untuk kehidupannya membutuhkan bahan-bahan organik dan anorganik dari lingkungannya. Bahan-bahan tersebut disebut dengan nutrient (zat gizi), sedang proses penyerapannya disebut proses nutrisi (Suriawiria, 1985).
Bahan makanan yang dibutuhkan mikroba pada umumnya dapat dibagi menjadi tujuh golongan yaitu air, sumber energi, sumber karbon, sumber aseptor elektron, sumber mineral, faktor tumbuh, dan sumber nitrogen (Waluyo, 2005). Ketiadaan atau kekurangan sumber-sumber nutrient ini dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroba dan dapat menyebabkan kematian. Kondisi tidak bersih dan higienis pada lingkungan adalah kondisi yang menyediakan sumber nutrient bagi pertumbuhan mikroba sehingga mikroba dapat tumbuh berkembang di lingkungan seperti ini. Menciptakan lingkungan bersih dan higienis adalah salah satu cara untuk mengeliminir dan meminimalisir sumber nutrient bagi mikroba agar pertumbuhannya terkendali (Anonimous, 2006).

Air
Air merupakan komponen utama sel mikroba dan medium. Fungsi air adalah sebagai sumber oksigen untuk bahan organik sel pada respirasi. Selain itu air berfungsi sebagai pelarut dan alat pengangkut dalam metabolisme. Air merupakan bagian terbesar dari sel, sebanyak 80-90%, dan bagian lain sebanyak 10-20% terdiri dari protoplasma, dinding sel, lipida untuk cadangan makanan, polisakarida, polifosfat, dan senyawa lain.

Sumber Energi
Ada beberapa sumber energi untuk mikroba yaitu senyawa organik atau anorganik yang dapat dioksidasi. Berdasarkan sumber energi mikroba dibedakan menjadi jasad fototrof yaitu mikroba yang menggunakan bantuan energi cahaya dan jasad kemototrof yaitu mikroba yang menggunakan energi dari reaksi kimia.

Sumber Karbon
Sumber karbon untuk mikroba dapat berbentuk senyawa organik maupun anorganik. Senyawa organik meliputi karbohidrat, lemak, protein, asam amino, asam organik, garam asam organik, polialkohol, dan sebagainya. Senyawa anorganik misalnya karbonat dan gas CO2 yang merupakan sumber karbon utama terutama untuk tumbuhan tingkat tinggi (Jawetz, 2001).
Berdasarkan sumber karbon, mikroba dibedakan menjadi mikroba autotrof dan mikroba heterotrof. Mikroba autotrof adalah mikroba yang memerlukan sumber karbon dalam bentuk anorganik, seperti CO2 dan senyawa karbonat. Sementara mikroba heterotrof adalah mikroba yang memerlukan sumber karbon dalam bentuk senyawa organik yang dibedakan lagi menjadi jasad saprofit yaitu mikroba yang dapat menggunakan bahan organik yang berasal dari sisa jasad hidup atau sisa jasad yang telah mati. Mikroba heterotrof yang kedua adalah parasit yaitu jasad yang hidup di dalam jasad hidup lain menggunakan bahan dari inangnya. Jasad ini dapat menyebabkan penyakit pada inangnya (Nugraha, 2010).

Sumber Aseptor Elektron
Proses oksidasi biologi merupakan proses pengambilan dan pemindahan elektron dari substrat. Karena elektron dalam sel tidak berada dalam bentuk bebas, maka harus ada suatu zat yang dapat menangkap elektron tersebut. Penangkap elektron ini disebut aseptor elektron. Aseptor elektron ialah agensia pengoksidasi. Pada mikroba yang dapat berfungsi sebagai aseptor elektron ialah O2, senyawa organik, NO3-, NO2-, N2O, SO4 =, CO2, dan Fe3+. Penggolongan mikroba berdasarkan sumber donor elektron yakni jasad litotrof yaitu jasad yang dapat menggunakan donor elektron dalam bentuk senyawa anorganik seperti H2, NH3, H2S, dan S. Sementara jasad organotrof adalah jasad yang menggunakan donor elektron dalam bentuk senyawa organik (Sumarsih. 2008).

Sumber Mineral
Mineral merupakan bagian dari sel. Unsur penyusun utama sel ialah C, O, N, H, dan P. unsur mineral lainnya yang diperlukan sel ialah K, Ca, Mg, Na, S, Cl. Unsur mineral yang digunakan dalam jumlah sangat sedikit ialah Fe, Mn, Co, Cu, Bo, Zn, Mo, Al, Ni, Va, Sc, Si, Tu. Unsur yang digunakan dalam jumlah besar disebut unsur makro, dalam jumlah sedang disebut unsur oligo, dan dalam jumlah sangat sedikit disebut unsur mikro. Unsur mikro sering terdapat sebagai ikutan (impurities) pada garam unsur makro, dan dapat masuk ke dalam medium lewat kontaminasi tempatnya atau lewat partikel debu. Selain berfungsi sebagai penyusun sel, unsur mineral juga berfungsi untuk mengatur tekanan osmose, kadar ion H+ (kemasaman, pH), dan potensial oksidasireduksi (redox potential) medium.

Faktor Tumbuh
Faktor tumbuh ialah senyawa organik yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan (sebagai prekursor, atau penyusun bahan sel) dan senyawa ini tidak dapat disintesis dari sumber karbon yang sederhana. Berdasarkan struktur dan fungsinya dalam metabolisme, faktor tumbuh digolongkan menjadi asam amino sebagai penyusun protein; base purin dan pirimidin sebagai penyusun asam nukleat; dan vitamin sebagai gugus prostetis atau bagian aktif dari enzim.

Sumber Nitrogen
Nitrogen merupakan komponen utama protein dan asam nukleat, yaitu ± 10% dari berat kering sel bakteri. Jenis senyawa nitrogen yang digunakan bakteri tergantung pada jenisnya. Sumber nitrogen yang paling utama untuk mikroorganisme adalah garam ammonium. Beberapa prokariot mampu mereduksi nitrogen molekul (N2). Mikroorganisme lain memerlukan asam-asam amino sebagai sumber nitrogen, jadi yang mengandung nitrogen organik. Tidak semua mikroorganisme mampu mereduksi sulfat, beberapa diantaranya memerlukan H2S atau sistein sebagai sumber sulfat (Setiawan, 2007).
Unsur-unsur nutrien yang dibutuhkan oleh mikroba untk bisa tumbuh tersebut banyak terdapat pada bahan pangan asal hewan. Untuk menjaga agar bahan pangan tersebut tetap layak dikonsumsi dan memiliki unsur gizi yang cukup kita membutuhkan perlakuan khusus atau pengawetan terhadap bahan pangan.

Interaksi Antar Mikroba Dalam Menggunakan Nutrien
Jika dua atau lebih mikroba yang berbeda ditumbuhkan bersama-sama dalam suatu medium, maka aktivitas metabolismenya secara kualitatif maupun kuantitatif akan berbeda jika dibandingkan dengan jumlah aktivitas masing-masing mikroba yang ditumbuhkan dalam medium yang sama tetapi terpisah. Fenomena ini merupakan hasil interaksi metabolisme atau interaksi dalam penggunaan nutrient yang dikenal sebagai sintropisme atau sinergitik. Seperti bakteri penghasil metan yang anaerob obligat tidak dapat menggunakan glukosa sebagai substrat, tetapi bakteri tersebut akan segera tumbuh oleh adanya hasil metabolisme bakteri anaerob lain yang dapat menggunakan glukosa. Contoh lain adalah biakan campuran yang terdiri atas dua jenis mikroba atau lebih sering tidak memerlukan faktor tumbuh untuk pertumbuhannya. Mikroba yang dapat mensintesis bahan selnya dari senyawa organik sederhana dalam medium, akan mengekskresikan berbagai vitamin atau asam amino yang sangat penting untuk mikroba lainnya. Adanya ekskresi tersebut memungkinkan tumbuhnya mikroba lain. Kenyataan ini dapat menimbulkan koloni satelit yang dapat dilihat pada medium padat. Koloni satelit hanya dapat tumbuh kalau ada ekskresi dari mikroba lain yang menghasilkan faktor tumbuh esensial bagi mikroba tersebut. Bentuk interaksi lain adalah cross feeding yang merupakan bentuk sederhana dari simbiose mutualistik. Dalam interaksi ini pertumbuhan jasad yang satu tergantung pada pertumbuhan jasad lainnya, karena kedua jasad tersebut saling memerlukan faktor tumbuh esensial yang diekskresikan oleh masing-masing jasad (Schlegel,1994).

Pengaruh Tekanan Hidrostatik Terhadap Pertumbuhan Mikroba
Tekanan hidrostatik mempengaruhi metabolisme dan pertumbuhan mikroba. Umumnya tekanan 1-400 atm tidak mempengaruhi atau hanya sedikit mempengaruhi metabolisme dan pertumbuhan mikroba. Tekanan hidrostatik yang lebih tinggi lagi dapat menghambat atau menghentikan pertumbuhan, oleh karena tekanan hidrostatik tinggi dapat menghambat sintesis RNA, DNA, dan protein, serta mengganggu fungsi transport membran sel maupun mengurangi aktivitas berbagai macam enzim. Tekanan diatas 100.000 pound/inchi2 menyebabkan denaturasi protein. Akan tetapi ada mikroba yang tahan hidup pada tekanan tinggi (mikroba barotoleran), dan ada mikroba yang tumbuh optimal pada tekanan tinggi sampai 16.000 pound/inchi2 (barofil). Mikroba yang hidup di laut dalam umumnya adalah barofilik atau barotoleran. Sebagai contoh adalah bakteri Spirillum (Dewangga, 2011).



Pengaruh Tekanan Osmotik Terhadap Pertumbuhan Mikroba
Tekanan osmose sangat erat hubungannya dengan kandungan air. Apabila mikroba diletakkan pada larutan hipertonis, maka selnya akan mengalami plasmolisis, yaitu terkelupasnya membran sitoplasma dari dinding sel akibat mengkerutnya sitoplasma. Apabila diletakkan pada larutan hipotonis, maka sel mikroba akan mengalami plasmoptisa, yaitu pecahnya sel karena cairan masuk ke dalam sel, sel membengkak dan akhirnya pecah (Pratiwi, 2009).
Berdasarkan tekanan osmose yang diperlukan mikroba dapat dikelompokkan menjadi: (1) mikroba osmofil, adalah mikroba yang dapat tumbuh pada kadar gula tinggi. Contohnya adalah khamir. (2) mikroba halofil, adalah mikroba yang dapat tumbuh pada kadar garam halogen yang tinggi. Contohnya yaitu Halobacterium. (3) mikroba halodurik, adalah kelompok mikroba yang dapat tahan (tidak mati) tetapi tidak dapat tumbuh pada kadar garam tinggi, kadar garamnya dapat mencapai 30 % (Hamid, 2009).

KESIMPULAN
Pertumbuhan mikroba dalam suatu medium mengalami fase-fase yang berbeda, yang berturut-turut disebut dengan fase lag, fase eksponensial, fase stasioner dan fase kematian. Mikroba memerlukan nutrient yang cukup selama pertumbuhannya. Dalam garis besarnya bahan makanan dibagi menjadi tujuh golongan yaitu air, sumber energi, sumber karbon, sumber aseptor elektron, sumber mineral, faktor tumbuh, dan sumber nitrogen. Semua unsur yang dibutuhkan tersebut banyak terdapat pada bahan pangan asal hewan. Selain nutrient, metabolisme dan pertumbuhan mikroba juga dipengaruhi oleh tekanan hidrostatik dan tekanan osmotik.

DAFTAR KEPUSTAKAAN
Anonimous. 2006. Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mikroba. (http://rachdie.blogsome.com/2006/10/14/faktor-yang-mempengaruhi-pertumbuhan-mikroba/). (27-03-2011).

Darkuni, N. 2001. Mikrobiologi. Malang: JICA

Dewangga, A. 2011. Pengaruh Lingkungan dan Fisiologis Terhadap Pertumbuhan Mikroba. Surakarta. (Makalah).

Hamid, Z. 2009. Nutrisi Mikroba, Sebuah Esensi Dasar Untuk Kehidupan Mikroba. http://zaifbio.wordpress.com./2009/01/31/nutrisi-mikroba, sebuah-esensi-dasar-untuk-kehidupan-mikroba/. (27-03-2011).

Hastuti, U.S. 2008. Petunjuk Praktikum Mikrobiologi. Malang: Universitas Negeri Malang.

Jawetz. 2001. Mikrobiologi Kedokteran. Salemba Medika. Jakarta.

Nugraha, A. 2010. Pertumbuhan Mikroba. http://zonabiologi.blogspot.com/2010/11/per-tumbuhan-mikroba.html (27-03-2011).

Pratiwi, A. 2009. Pengaruh Faktor Fisika Dan Kimia Terhadap Mikroba Laut http://www.scribd.com/doc/50076130/Pengaruh-faktor-fisika-dan-kimia-terhadap-mikroba-laut. (27-03-2011).

Schlegel, H. 1994. Mikrobiologi Umum Edisi Keenam. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Setiawan, W.A. 2009. Kultivasi Reproduksi dan Pertumbuhan Bakteri. http://blog.unila.ac.id/wasetiawan/files/2009/07/kultivasi-reproduksi-dan pertumbuhan bakteri. pdfSetiawan. (28-03-2011).

Sumarsih. 2008. Nutrisi Dan Medium Kultur Media. http://sumarsih07.files.wordpress.com/2008/11/iii-nutrisi-dan-medium-kultur-mikroba.pdf. (28-03-2011).
Suriawiria, U. 1995. Pengantar Mikrobiologi Umum. Angkasa. Bandung

Tarigan, J. 1988. Pengantar Mikrobiologi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan.

Waluyo, L. 2005. Mikrobiologi Umum. Universitas Muhammadiyah Malang Prees. Malang.