esok nak ujian,,jadi blajar dulu kita yach...
neyh aq share bahannya,, slamat di baca n di pelajari, moga bermanfaat yaaach. :)
ABORTUS
Abortus adalah pengeluaran fetus sebelum akhir masa kebuntingan
dengan fetus yang belum sanggup hidup, sedangkan kelahiran prematur
adalah pengeluaran fetus sebelum masa akhir kebuntingan dengan fetus
yang sanggup hidup sendiri di luar tubuh induk (Toelihere, 1985).
Abortus
dapat terjadi pada berbagai umur kebuntingan dari 42 hari sampai saat
akhir masa kebuntingan. Abortus dapat terjadi bila kematian fetus di
dalam uterus disertai dengan adanya kontraksi dinding uterus sebagai
akibat kerja secara bersama-sama dari hormon estrogen, oksitosin, dan
prostaglandin F2α pada waktu terjadinya kematian fetus itu. Oleh karena
itu fetus yang telah mati terdorong keluar dari saluran alat kelamin
(Hardjopranjoto, 1995).
Penyebab
abortus secara garis besar dapat dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu
abortus karena sebab-sebab infeksi dan, abortus karena sebab-sebab non
infeksi.
-
Abortus karena infeksi
-
Brucellosis
Sifat dan Kejadian
Brucellosis adalah penyakit hewan menular yang secara primer menyerang
sapi, kambing, babi dan sekunder beberapa jenis hewan lainnya dan
manusia. Brucellosis disebabkan bakteri Brucella abortus (Anonim, 1978). Abortus karena Br. abortus
umumnya terjadi dari bulan ke-6 sampai ke-9 periode kebuntingan.
Kejadian abortus berkisar antara 5-90% di dalam suatu kelompok ternak
tergantung pada berat ringan infeksi, daya tahan hewan bunting,
virulensi organisme dan faktor-faktor lain (Toelihere, 1985).
Terjadinya keguguran setelah kebuntingan 5 bulan merupakan petunjuk
kunci untuk menemukan penyakit ini. Seekor sapi betina setelah
keguguran itu masih mungkin bunting lagi tetapi tingkat kelahiran akan
rendah dan tidak teratur (Blakely & Bade, 1991). Sedangkan menurut
Akoso (1990), terjadinya keguguran karena penyakit ini biasanya pada
usia kebuntingan 7 bulan. Kemungkinan selaput janin akan tertinggal
lama dan menyebabkan sapi menjadi mandula dalah merupakan gejala
penyakit ini
Penularan penyakit ini dapat terjadi melalui ingesti makanan dan air
yang terkontaminasi oleh kotoran-kotoran dari alat kelamin hewan yang
mengalami abortus. Disamping itu penularannya dapat juga terjadi
melalui selaput lendir mata dan melalui IB dengan semen terinfeksi.
Anak sapi yang menyusu dari induk yang tertular juga dapat tertulari
(Toelihere, 1985).
Patogenesis
Permulaan infeksi brucellosis terjadi pada kelenjar limfe supramamaria.
Pada uterus, lesi pertama terlihat pada jaringan ikat antara kelenjar
uterus mengarah terjadinya endometritis ulseratif, kotiledon kemudian
terinfeksi disertai terbentuknya eksudat pada lapisan allantokhorion. Brucella
banyak terdapat pada vili khorion, karena terjadi penghancuran
jaringan, seluruh vili akan rusak menyebabkan kematian fetus dan
abortus. Jadi kematian fetus adalah gangguan fungsi plasenta disamping
adanya endotoksin. Fetus biasanya tetap tinggal di uterus selama 24-72
jam setelah kematian. Selaput fetus menderita oedematous dengan lesi
dan nekrosa (Hardjopranjoto, 1995).
Pengendalian dan Pencegahan
Upaya yang dapat dilakukan terhadap pencegahan penyakit ini adalah
memisahkan sapi yang menderita abortus pada tempat yang terisolasi,
menghindari perkawinan antara pejantan dengan betina yang menderita
abortus, jangan memberikan susu pada sapi dengan susu sapi yang
menderita abortus, selalu memperhatikan kebersihan baik kandang maupun
peralatan kandang dan peralatan pemerah yang digunakan, serta
melaksanakan vaksinasi secara teratur (Siregar, 1982). Apabila terjadi
abortus akibat Brucella abortus fetus dan placenta yang
digugurkan harus dikubur atau dibakar dan tempat yang terkontaminasi
harus didesinfeksi dengan 4% larutan kresol atau desinfektan sejenis
(Toelihere, 1985).
-
Leptospirosis
Sifat dan Kejadian
Leptospirosis pada sapi disebabkan oleh spirocheta yang kecil dan berbentuk filamen, yang terpenting diantaranya adalah Leptospira pamona, L. hardjo, L. grippotyphosa dan L. conicola. Organisme ini mudah dimusnahkan oleh panas, sinar matahari, pengeringan, asam, dan desinfektan. Leptospira
dapat hidup selama beberapa hari atau minggu dalam lingkungan yang
lembab pada suhu sedang seperti di tambak, aliran air yang macet atau
di tanah basah (Toelihere, 1985).
Air
merupakan media penyebaran utama untuk penyakit ini. Penularannya dapat
pula melalui luka, semen, baik perkawinan alamiah maupun perkawinan
dengan IB. selain dapat menular ke ternak lain penyakit ini juga dapat
menular ke manusia (Blakely &Bade, 1991). Pembawa utama Leptospira adalah rodentia. Anjing dan babi dapat berfungsi sebagai pembawa potensial (Anonim, 1980).
Penyebaran
Leptospirosis bergantung pada keadaan luar, yaitu penyebarannya
terutama melalui air dan lumpur. Hewan biasanya mengeluarkan Leptospira melalui air kemih. Bila air kemih in tiba di dalam air atau lumpur yang sedikit alkali atau netral maka Leptospira itu dapat tinggal hidup berminggu-minggu. Bila hewan atau orang kontak langsung dengan air atau lumpur ini maka ia terinfeksi. Leptospira ini masuk ke dalam tubuh melalui selaput lendir konjungtiva, mulut, hidung dan luka kulit.
Patogenesis
Setelah infeksi terjadi pada sapi, Leptospira
masuk dan berkembang di dalam aliran darah. Masa inkubasi terjadi 4-10
hari dengan fase bakteremia yang akan berakhir kira-kira 7 hari,
diikuti pengeluaran Leptospira dalam air susu dan terjadi
kerusakan fungsi ginjal. Dengan terbentuknya antibody dalam sirkulasi
darah setelah 5-10 hari bakteremia berhenti, bakteri akan melokalisir
dan menetap di sejumlah organ tubuh terutama tubulus renalis ginjal dan
alat kelamin dewasa. Selanjutnya Leptospira dikeluarkan dalam
urine selama 20 bulan atau lebih, tergantung pada serotype dan umur
sapi. Pada induk sapi yang bunting maupun tidak bunting Leptospira akan menetap pada uterus pasca infeksi. Lokalisasi Leptospira pada uterus yang bunting dapat menulari fetus, diikuti dengan keluarnya kotoran yang mengandung Leptospira dari alat kelamin sampai 8 hari pasca lahir. Leptospira dapat juga menetap di tuba falopii 22 hari setelah melahirkan (Hardjopranjoto, 1995).
Pengendalian dan Pencegahan
Pengendalian penyakit ini dapat dilakukan dengan tindakan-tindakan
higienik dan sanitasi, vaksinasi dan pengobatan antibiotika. Bakterin
dapat memberi kekebalan yang baik selama 2 sampai 12 bulan. Oleh karena
itu vaksinasi memakai bakterin sebaiknya dilakukan 2 kali dalam 1
tahun. Pengobatan terhadap leptospirosis akut meliputi penyuntikan
antibiotika dalam dosis tinggi seperti 3 juta satuan penicillin dan 5
gram streptomycin 2 kali sehari atau 2,5-5 gram tetracycline per 500 kg
berat badan setiap hari selama 5 hari (Toelihere, 1985). Sedangkan cara
pengendalian yang ideal adalah dengan penyingkiran hewan pembawa
(Anonim, 1980).
-
Camphylobacteriosis
Sifat dan Kejadian
Camphylobacteriosis yang disebabkan oleh Camphylobakter foetus veneralis (dahulu disebut Vibrio fetus veneralis)
adalah salah satu penyakit penyebab utama kegagalan reproduksi pada
sapi yang disebarkan melalui perkawinan. Umumnya ditemukan kematian
embrio dini atau abortus pada bulan ke-4 sampai akhir kebuntingan
(Toelihere, 1985).
Penyebarannya lewat ingesti, masuk darah menyebabkan plasentitis dengan
kotiledon hemoragik dan sekitar interkotiledonaria mengalami udema
(Prihatno, 2006).
Patogenesis
Infeksi Camphylobacter fetus venerealis
pada sapi betina akan diikuti oleh endometritis, ditandai dengan adanya
kerusakan pada endometrium yang mencapai puncaknya pada 8-13 minggu
setelah penularan, disertai keluarnya cairan keruh kemudian berubah
menjadi mukopurulen yang kadang-kadang diikuti salphingitis. Eksudat
ditemukan dalam kelenjar uterus disertai infiltrasi limfosit ke dalam
rongga periglandular. Karena adanya endometritis, embrio akan
memperoleh oksigen lebih sedikit, sehingga akan mati dalam waktu yang
singkat tanpa gejala yang jelas. Abortus terjadi pada umur 2-3 bulan
dengan selaput fetus yang utuh pada waktu diabortuskan (Hardjopranjoto,
1995).
Pengendalian dan Pencegahan
Pengendalian yaitu IB dengan semen sehat yang berasal dari pejantan
yang sehat pula, hewan betina atau pejantan yang terkena harus
istirahat kelamin selama 3 bulan dan vaksinasi dengan bakterin 30-90
hari sebelum dikawinkan atau setiap tahun (Prihatno, 2006). Sedangkan
pengobatannya dapat dilakukan dengan pemberian antibiotic berspektrum
luas baik pejantan maupun betina (Prihatno, 1994).
-
Infectious Bovine Rhinotracheitis dan Infectious Pustular Vulvovaginitis (IBR-IPV)
Sifat dan Kejadian
Penyakit ini baru dikenal sejak tahun 1950 di Amerika Serikat yang
disebabkan oleh virus. Penyebaran virus ini adalah melalui udara yaitu
pada saat banyak hewan berkumpul. Hingga sekarang hanya sapi yang
diketahui peka terhadap penyakit ini. Infeksi buatan dapat dilakukan
denan inhalasi larutan yang mengandung virus di dalam hidung atau
dengan injeksi intra tracheal (Ressang, 1984). Kejadian abortus dapat
setiap saat, tetapi umumnya mulai bulan ke-4 sampai akhir kebuntingan
(Prihatno, 2006).
Penularan penyakit ini dapat secara vertikal maupun horizontal. Secara
vertical dapat melalui infeksi intra uterine, sedangkan secara
horizontal dapat melalui inhalasi dari cairan hidung dan melalui semen
yang mengandung virus (Anonim, 1982).
Patogenesis
Masa inkubasi virus ini berkisar antara 4-6 hari. Infeksi virus ini
menyebabkan lepuh-lepuh pada mukosa vulva dan vagina, yaitu dimulai
dengan bintik-bintik merah sebesar jarum pentul yang dalam waktu 2-3
hari akan membesar. Lepuh-lepuh ini berdinding tipis dan berisi cairan.
Sapi yang terinfeksi mengalami demam yang disertai radang vagina. Dari
vulva akan keluar cairan yang mula-mula bening kemudian bersifat nanah.
Infeksi virus ini juga menyebabkan lepuh-lepuh pada fetus.dan nekrosis
pada bagian korteks ginjal fetus (Hardjopronjoto, 1995).
Pengendalian dan Pencegahan
Vaksinasi terhadap sapi-sapi yang tidak bunting dengan kombinasi
IBR-IPV dan BVD-MD pada usia 6-8 bulan dapat dilakukan untuk mencegah
penyakit ini. Sapi yang terkena diisolasi dan diistirahatkan kelamin
selama kurang lebih 1 bulan kemudian untuk mencegah infeksi sekunder
dapat diberikan antibiotik (Prihatno, 1994).
-
Bovine Virus Diarrhea Mucosal Disease (BVD-MD)
Umumnya
menyerang sapi dan menyebabkan infertilitas. Pada sapi bunting yang
terinfeksi dapat menyebabkan abortus.abortus dapat terjadi pada usia
kebuntingan 2-9 bulan dan sangat menular. Penularan dapat lewat oral
atau parenteral, urin atau feses. Infeksi pada fetus antara hari ke 45
dan 125 kebuntingan dan mungkin menyebabkan kematian fetus, abortus,
resorbsi, fetal immunotoleran, dan infeksi persisten. Gejala yang
nampak adalah demam tinggi, depresi, anoreksia, diare, dan produksi
susu turun.
Patogenesis
Masa inkubasi secara alami berlangsung selam 21 hari. Virus masuk ke
dalam aliran darah setelah terjadinya penularan (viremia), kemudian
diikuti dengan timbulnya kerusakan-kerusakan sel epitel pada mukosa
saluran pencernaan. Pada hewan yang buting virus ini menyebabkan
plasentitis yang diikuti oleh infeksi pada fetus, kemudian diikuti
abortus atau kelahiran anak yang abnormal (Hardjopranjoto, 1995).
Pengendalian dan Pencegahan
Diagnosanya sulit karena tidak ada lesi spesifik pada fetus. Uji
serologik untuk menentukan titer antibodi mungkin dapat membantu
diagnosa. Pencegahan dengan mengeleminir sapi terinfeksi dan melakukan
vaksinasi (Prihatno, 2006).
-
Epizootic Bovine Abortion (EBA)
Sifat dan Kejadian
Epizootic Bovine Abortion (EBA) disebabkan oleh Chlamydia psittasi dan vektornya adalah Ornithodoros coriaceus. Penyakit ini menyebabkan abortus yang tinggi (30-40%) pada tri semester akhir kebuntingan pada sapi dara (Prihatno, 2006).
Menurut McKercher (1969) yand disitasi oleh Toelihere (1985) penyakit
ini terutama menyerang fetus dan menyebabkan abortus pada umur
kebuntingan 7, 8, dan 9 bulan. Beberapa fetus dilahirkan mati atau anak
sapi lahir hidup tetapi lemah dan mati beberapa waktu kemudian. Gejala
penyakit ini dapat dilihat dengan adanya kerusakan menyolok pada fetus
yang diabortuskan pada placenta ada bercak-bercak (Partodiharjo, 1987).
Patogenensis
Virus ini terutama menyerang fetus, ditandai adanya haemorrhagia
petechial pada mukosa konjungtiva, mulut dan kulit fetus. Terdapat
cairan berwarna jerami umumnya terdapat di dalam rongga tubuh. Infeksi
virus ini pada fetus menyebabkan hati membengkak, berbungkul kasar dan
berwarna kuning dan hampir semua kelenjar limfa membengkak dan
oedematous (Toelihere, 1985).
Pengendalian dan Pencegahan
Melihat ganasnya penyakit ini, maka diperkirakan penyebaran yang cepat
dan antibodi yang terbentuk cukup kuat dalam tubuh sapi, dapat
diperkirakan vaksin akan mudah didapat. Tetapi kenyataannya sampai
sekarang belum ada vaksinnya (Partodiharjo, 1987). Pengendalian
penyakit ini dilakukan dengan mengisolasi dan mengobati hewan yang
terinfeksi disamping pemberian vaksinasi tetapi belum ada vaksinnya
(Prihatno, 1994).
-
Aspergillosis
Sifat dan Kejadian
Aspergillosis adalah penyakit jamur pada unggas, burung liar termasuk penguin, dan mamalia yang sudah lama dikenal. Jenis Aspergillus yang dianggap patogen untuk hewan adalah Aspergillus flavus, A. candidus, A. niger, A. glaucus.
Ummnya penyakit ini bersifat menahun, akan tetapi pada hewan muda dapat
berjalan akut. Pada sapi jamur dapat menyebabkan abortus bila jamur
berlokasi di selaput fetus (Ressang, 1984).
Hampir semua abortus pad sapi disebabkan oleh Aspergillus fumigatus dan Mucorales.
Kebanyakan abortus terjadi pada bulan ke-5 sampai ke-7 masa
kebuntingan, tetapi dapat berlangsung dari bulan ke-4 sampai waktu
partus. Fetus umumnya dikeluarkan dalam keadaan mati, tetapi beberapa
kasus terjadi kelahiran prematur (Toelihere, 1985). Organ reproduksi
yang sering ditumbuhi jamur adalah uterus (Robert, 1986).
Patogenesis
Jamur masuk lewat inhalasi sampai ke paru-paru, spora akan mengikuti
aliran darah menuju plasenta dan menyebabkan plasentitis diikuti oleh
kematian fetus dan abortus. Jamur juga dapat masuk ke tubuh melalui
makanan, lewat ingesti spora masuk rumen menyebabkan rumenitis kemudian
masuk ke dalam darah menuju plasenta dan menyebabkan plasentitis yang
diikuti oleh abortus (Prihatno, 2006).
Pengendalian dan Pencegahan
Pencegahan penyakit ini dapat dilakukan dengan cara antara lain :
menyingkirkan hewan penderita, menghindari pemberian makanan
bercendawan, memusnahkan sumber cendawan Aspergillus,
memberikan perawatan dan makanan hewan untuk mempertinggi daya tahan
tubuh, bekas tempat sapi yang terinfeksi didesinfeksi. Pengobatannya
dengan griseofulvin untuk hewan besar memberikan hasil yang memuaskan
tetapi biaya cukup mahal (Anonim, 1981).
-
Trichomoniasis
Sifat dam Kejadian
Trichomoniasis adalah penyakit venereal yang ditandai dengan sterilitas, abortus muda, dan pyometra, yang disebabkan oleh Trichomonas foetus.
Abortus terjadi antara minggu pertama dan minggu ke-16 masa kebuntingan
(Toelihere, 1985). Penularan dari sapi betina ke sapi yang lain terjadi
melalui pejantan yang mengawininya. Penyakit ini pada tingkatan yang
lanjut menunjukkan keadaan preputium penis sapi jantan yang mengalami
peradangan, meskipun penyakit ini dapat pula ditularkan melalui IB
(Blakely & Bade, 1991).
Gejala penyakit ini ditandai dengan siklus estrus yang pendek tidak
teratur, dan pada umumnya menyebabkan infertilitas yang bersifat
sementara. Sering sekali ditemui abortus muda (umur 4 bulan atau
kurang) dan kejadian pyometra (Partodiharjo, 1987).
Patogenesis
Pada vagina trichomonisis menimbulkan vaginitis kataralis, yang mukosa
vaginanya berwarna kemerahan dan basah. Pada infeksi yang kronis
didapatkan udemaa pada vulva. Pada uterus infeksi T. fetus
menyebabkan endometritis kataralis yang dapat berubah menjadi purulen.
Apabila sapi bunting, keradangan pada kotiledon mengakibatkan kemtian
dan maserasi fetus atau abortus, kemudian disusul terjadinya piometra.
Pada kasus tersebut corpus luteum gravidatum tetap berkembang dan
disebut corpus luteum persisten. Plasenta mengalami penebalan dilapisi
sejumlah kecil gumpalan eksudat berwarna putih kekuningan. Pada
kotiledon sedikit nekrosis (Hardjopranjoto, 1995).
Pengendalian dan Pencegahan
Penanggulangan penyakit ini dapat dilakukan dengan pengobatan
antibiotik secara lokal pada betina terinfeksi. Sedangkan pada pejantan
terinfeksi dilakukan pembilasan kantong penis dengan antibiotik atau
antiseptika ringan cukup membinasakan T. fetus. Disamping itu
pengolahan semen yang digunakan untuk IB dengan baik merupakan cara
pemberantasan Trichomoniasis (Partodiharjo, 1987). Semen yang beredar
secara komersial dapat diberi perlakuan khusus dengan pemberian
antibiotik untuk menghindari ancaman infeksi sapi betina yang di IB.
pengobatan terhadap Trichomonisis dapat berhasil secara efektif dengan
menggunakan antibiotik spektrum luas baik untuk pejantan maupun betina.
Usaha lain yang dapat dilakukan adalah isolasi dan memberikan waktu
istirahat untuk kegiatan seksual (Blakely & Bade, 1991).
- Abortus karena sebab-sebab non infeksiAbortus karena faktor genetikInbreeding menyebabkan kematian embrio, abortus dan kelahiran anak yang mati karena konsentrasi gen-gen letal perzigot lebih tinggi dibandingkan dengan pada crossbreeding (Toelihere, 1985). Gen lethal yang diperoleh dari induk dan bapaknya, dapat menyebabkan abortus. Kelainan kromosom baik pada autosom maupun kromosom kelamin juga dapat menyebabkan abortus (Hardjopranjoto, 1995).
Sebelum
implantasi, embrio lebih mudah terkena pengaruh mutasi genetic dan
kelainan kromosom diikuti oleh kematian fetus. Kelainan kromososm dapat
dibedakan atas kelainan jumlah kromosm dan struktur kromosom. Kejadian
ini dapat berlangsung karena kegagalan penyebaran kromosom atau susunan
kromatin dalan sel tubuh penderita, terjadi selama berlangsungnya
proses meiosis dan mitosis dari sel ovum atau sel sperma yang dapat
menghasilkan dua bentuk sel yang poliploid. Yang dimaksud dengan
poliploid adalah penambahan jumlah kromosom yang normal (2n+1)
(Hardjopranjoto, 1995).
Abortus karena sebab-sebab hormonal
Senyawa
estrogenik bila diberikan dalam dosis tinggi untuk periode yang lama
dapat menyebabkan abortus pada sapi (Toelihere, 1985). Hormon estrogen
dihasilkan oleh folikel ovarium dan mempunyai fungsi stimulasi
kontraksi uterus, juga menyebabkan uterus lebih peka terhadap pengaruh
oksitosin pada saat menjelang partus. Estrogen bekerjasama dengan
relaksin dapat merelaksasi servik dan ligamentum pelvis. Pada periode
kebuntingan gangguan ketidakseimbangan hormone dapat menyebabkan
terjadinya abortus (Hardjopranjoto, 1995).
Defisiensi
progesteron merupakan penyebab abortus muda pada sapi. Abortus karena
defisiensi progesteron dapat terjadi pada 45 sampai 180 hari masa
kebuntingan, tetapi lebih sering pada 100 hari masa
kebuntingan(Toelihere, 1985). Progesterone dihasilkan oleh korpus
luteum dan mempunyai fungsi berhubungan dengan pertumbuhan sel-sel
endometrium sebelum dan selama hewan bunting. Kemampuan korpus luteum
gravidatum untuk menghasilkan hormone progesterone dapat mempertahankan
kebuntingan (Hardjopranjoto, 1995).
Abortus karena defisiensi makanan
Malnutrisi
untuk waktu yang lama menyebabkan penghentian siklus birahi dan
kegagalan konsepsi. Defisiensi makanan dan kelaparan yang parah dapat
menyebabkan abortus (Toelihere, 1985).
Defisiensi
vitamin A dapat menyebabkan abortus pada sapi umur kebuntingan tua atau
terjadi kelahiran anak lemah atau mati. Provitamin A dapat dipecah
menjadi vitamin A oleh dinding usus. Kekurangan vitamin A dalam ransom
dapat menyebabkan terjadinya gangguan kesuburan sampai pada tingkat
kemajiran.pada induk yang sedang bunting, kekurangan vitamin A dapat
diikuti oleh abortus. Ini disebabkan kekurangan vitamin A meyebabkan
terjadinya keratinisasidari epitel uterus, sehingga proses implantasi
menjadi terganggu dan meyebabkan degenerasi plasenta (Hardjopranjoto,
1995). Apabila kebuntingan berlangsung sampai akhir waktunya, kelahiran
mungkin sulit terjadi dan disusul olen infeksi dan retensio secundinae
(Toelihere, 1985). Hal yang sama juga pernah dilaporkan tentang
defisisensi selenium (Toelihere, 1985). Kekurangan selenium dapat
menyebabkan terjadinya degenerasi urat daging jantung dan rangka dari
fetus, sehingga menyebabkan kematian fetus tersebut (Hardjopranjoto,
1995).
Abortus karena keracunan
Keracunan
nitrat yang banyak dikandung oleh rumput liar dirawa-rawa atau daun
cemara (pinus ponderosa) bila termakan dalam jumlah besar pada induk
yang sedang bunting, dapat menyebabkan abortus pada 21-142 hari
kemudiansesudah ingesti. Abortus dapat terjadi pada umur kebuntingan
6-9 bulan. Anak sapi dapat lahir premature, lemah dan mati sesudah
beberapa waktu, sering juga terjadi retensi secundae. Bahan toksik yang
terkandung di dalam daun pinus mungkin adalah suatu zat anti estrogenic
yang akan mempengaruhi metabolisme tubuh terutama menekan sekresi
kelenjar kelamin. Daun lamtoro yang diberikan dalam jumlah besar dapat
menyebabkan abortus karena racun mimosin yang dikandung. Racun mimosin
bila termakan induk hewan yang bunting secara berlebihan dapat
mempengaruhi metablisme hormonal, sehingga menyebabkan penurunan respon
ovarium terhadap sekresi hormone gonadotropin (Hardjopranjoto, 1995).Abortus karena gangguan dari luar tubuh induk
Stress
karena panas dapat menyebabkan hipotensi fetus, hypoxia, dan asidosis
(Prihatno, 2006). Suhu yang panas dapat menyebabkan penurunan kadar
hormone reproduksi seperti FSH dan LH, selain itu juga dapat
menyebabkan penurunan volume darah yang mengalir ke alat reproduksi,
sehingga menyebabkan perubahan lingkungan uterus yang lebih panas dan
menambah kemungkinan kematian fetus (Hardjopranjoto, 1995).
Abortus karena sebab-sebab fisik
Pemecahan
kantong amnion dengan penekanan manual pada kantung amnion selama
kebuntingan muda, 30-60 hari umur kebuntingan dapat menyebabkan
abortus. Sebab utama kematian fetus adalah rupture jantung atau
pecahnya pembuluh darah pada dasar jantung fetus yang menyebabkan
perdarahan ke dalam kantung amnion. Pemecahan corpus luteum
gravidatum/verum pada ovarium akan disusul abortus beberapa hari
kemudian. Pada sapi corpus luteum diperlukan selama periode kebuntingan
dan kelahiran normal. Corpus luteum menghasilkan hormone progesterone
yang berfungsi untuk pertumbuhan kelenjar endometrium, sekresi susu
uterus, pertumbuhan endometrium dan pertautan placenta untuk memberi
makan kepada fetus yang berkembang, dan menghambat pergerakan uterus
untuk membantu pertautan placenta. Sehingga penyingkiran corpus luteum
kebuntingan pada sapi pasti menyebabkan abortus (Toelihere, 1985).
Abortus karena sebab-sebab lain
Kembar
pada sapi menyebabkan lebih banyak kelahiran prematur, abortus,
distokia, dan kelahiran anak yang lemah atau mati dibandingkan fetus
tunggal (Toelihere, 1985). Banyaknya fetus yang ditampung oleh kedua
cornua uteri dari seekor induk sangat tergantung kepada sifat
genetisnya. Makin bertambahnya jumlah fetus, makin bertambah pula
jumlah plasentanya dan makin bertambah ruangan didalam uterus yang
dibutuhkan, serta makin bertambah kebutuhan darah untuk fetusnya. Namun
demikian, kemapuan rongga uterus untuk menampung fetus secara alamiah
adalah terbatas. Dengan bertambahnya fetus di dalam uterus di luar
kemampuannya, dapat mengurangi penyediaan darah pada tiap fetus.
Kondisi sepetri ini cenderung menyebabkan kematian fetus, khususnya
bila fetus berada dalam satu cornua (Hardjopranjoto, 1995)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar