LAPORAN KOAS ppdh LABORATORIUM pATOLOGI
PENDAHULUAN
Studi patologi adalah studi tentang
etiologi, mekanisme, dan manifestasi penyakit dengan teknik dan pengetahuan
yang didapat dari disiplin ilmu diantaranya yaitu antomi, fisiologi,
mikrobiologi, biokimia, dan histologi. Informasi yang diperoleh dari studi
patologi diperlukan sebelum mengembangkan metode yang dapat digunakan untuk
mengendalikan dan mencegah penyakit.
Diagnosa secara patologi anatomi dan
histopatologi, kita dapat menghubungkan tanda-tanda dan gejala yang diamati
dari suatu individu dengan perubahan seluler. Pada tahap awal pataologi sangat
deskriptif. Penyakit dapat dipahami dan dikategorikan dalam bagian secara
patologi anatomi dan histopatologi. Dalam waktu terakhir abad ke-19, dengan
menggunakan pendekatan patologi anatomi, mikroskopis, ditambah dengan teknik
mikrobiologis, kita dapat mengetahui bahwa apakah penyebab utama kematian hewan
adalah dikarenakan biotik agen: protozoa, bakteri, virus, ataupun jamur. Dan pada
saat itu telah diketahui bahwa semua penyakit mencerminkan perubahan pada
tingkat molekuler.
Demikian pula pada pendidikan
program dokter hewan di Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala, salah satu
laboratorium yang harus diselesaikan oleh mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter
Hewan (PPDH) adalah laboratorium patologi, diharapkan bahwa calon-calon dokter
hewan dapat mendiagnosis suatu penyakit melalui pendekatan secara patologi
anatomi dan histopatologi yang mana keduanya saling berhubungan untuk mendiagnosis
suatu penyakit.
HASIL PEMERIKSAAN
Patologi Anatomi
Secara patologi anatomi hasil pemeriksaan kasus no 3155
adalah paru-paru tampak melisut dengan aspek suram dan permukaan paru seperti
ada gelembung-gelembung. Konsistensinya lunak dan ada krepitasi yang menandakan
alveolnya mengalami empisema, serta jika dilakukan uji apung maka bagian paru
tersebut akan mengapung.
Gambar 1. Gambaran patologianatomi paru-paru
anjing yang mengalami pneumonia interstitialis
b. Histopatologi
Secara
histopatologi paru-paru terlihat pertambahan jaringan ikat di interalveoler.
Sel-sel radang banyak ditemukan pada darah jaringan ikat tersebut baik di septa
alveol maupun pada jaringan ikat peribronchial.
Gambar 2. Gambaran histopatologi paru-paru yang
mengalami pneumonia interstitialis. Tampak Interstitium paru-paru menebal
berisis sel-sel radang (pembesaran 10x).
PEMBAHASAN
Pneumonia Interstitialis
Radang paru-paru
(pneumonia) merupakan radang parenkim yang dapat berlangsung baik akut maupun
kronik ditandai dengan batuk, suara abnormal pada waktu auskultasi, dyspnoe dan
kenaikan suhu tubuh. Radang ini disebabkan oleh berbagai agen etiologi, radang
yang disebabkan bakteri terkadang menyebabkan terjadinya toksemia.Pneumonia
dapat terjadi sebagai akibat dari infeksi virus, bakteri, jamur, dan larva
cacing. Faktor-faktor yang juga dapat berpengaruh atas terjadinya radang
paru-paru misalnya: kandang yang lembab, berdebu, ventilasi udara yang jelek
(Subronto, 1995).
Virus canine distemper, Adenovirus
tipe 2, Parainfluenza tipe 2 dan Canine herpesvirus 1
dapat menyebabkan lesi pada saluran udara dan mengakibatkan pneumonia dan
merupakan predisposisi infeksi bakterial pada paru-paru. Agen bakteri seperti: Bordetella
bronchiseptika, Streptococcus sp., Pasteurella multocida, E. coli,
Mycobacterium tuberculosis dan Mycoplasma sp, biasanya selalu menyebabkan
bronchopneumonia dan bentuk lain pneumonia seperti multifokal nekrosis atau
pneumonia granulomatosa berhubungan dengan penyebaran secara hematogenous ke
paru-paru. Pneumonia mikotika pada anjing sering disebabkan oleh Blastomyces
dermatidis, Histoplasma capsulatum, Coccidioides immitis, Pneumocytis carinii dan
Cryptococcus neoformans. Pneumonia verminosa pada anjing, biasanya
disebabkan oleh migrasi larva cacing Toxocara canis, Ancylostoma caninum dan
Strongloides stercoralis.
Patogenesis
Agen-agen infeksi memasuki jaringan paru-paru
secara inhalasi (aerogen), hematogen dan limfogen. Adanya keradangan paru-paru
menyebabkan pertukaran gas oksigen dan karbondioksida terganggu. Hipoksia yang
terjadi diikuti dengan kompensasi berupa peningkatan frekuensi nafas dan
intensitas pernafasan yang secara reflektoris terjadi karena adanya rangsangan
terhadap reseptor oleh kelebihan CO2. Karena adanya rasa sakit
karena terjadi proses keradangan, inspirasi tidak dapat dilakukan dengan
leluasa, hingga pernafasan jadi cepat dan dangkal. Karena adanya hiperemi
jaringan paru-paru akan mengalami pemadatan dan konsolidasi kepekaan yang
meningkat pada selaput lendir pernafasaan menyebabkan jaringan tersebut menjadi
peka terhadap rangsangan ringan, misalnya karena udara pernafasan, hingga
terjadinya batuk. Oleh karena adanya eksudat didalam saluran pernafasan akan
terdengar suara bronchi basah waktu auskultasi. Konsolidasi paru-paru dan
eksudat menyebabkan suara vesikuler yang normal menjadi hilang. Perubahan
struktur dan kosistensi paru-paru dapat diamati dengan jalan perkusi atau
auskultasi.
Infeksi secara hematogen dan
limfogen menyebabkan terbentuknya fokus-fokus radang yang tepatnya tersebar
pada berbagai lobus paru-paru. Infeksi yang disebabkan oleh kuman pada stadium
lanjut akan disertai gejala toksemia, sel-sel mengalami keracunan, hingga
mekanisme perlawanan terhadap agen infeksi juga menurun. (Subronto, 1995).
Gejala klinis
Gejala yang terlihat pada infeksi
paru-paru adalah dyspnoe (kesulitan bernafas) terutama pada saat menarik nafas.
Nafas menjadi cepat dan dangkal. Anjing kesulitan mendapatkan oksigen yang
cukup karena jaringan paru-paru terisi oleh cairan, sehingga menurunkan jumlah
alveoli yang berfungsi. Lidah, gusi dan bibir mungkin terlihat kebiruan atau
abu-abu (cyanosis) sebagai indikator kurangnya oksigen dalam darah. Menurut
Subronto (1995) tidak semua proses keradangan diikuti dengan kenaikan suhu
tubuh. Kenaikan suhu tubuh pada umumnya tidak dijumpai pada pneumonia yang
berlangsung secara kronik, selain itu pneumonia verminosa juga tidak biasa
diikuti dengan kenaikan suhu tubuh. Pada pneumonia, anjing terlihat depresi,
anoreksia, dehidrasi dan tidak mampu berdiri atau bergerak. Batuk kering, batuk
yang dalam dan serak yang merupakan ciri dari pneumonia mungkin akan terdengar.
Kadang-kadang sekresi yang berlebihan, berbau busuk dapat menyebabkan timbulnya
leleran pada hidung dan mulut hewan yang sakit. Hewan yang menderita pneumonia
yang sangat akan menjulurkan kepala dan mengaduksikan sikunya karena kekurangan
udara. Jika daerah ang mengalami konsolidasi luas maka akan tampak pada
pemeriksaan secara perkusi (pekak) diatas daerah tersebut. Pada auskultasi
suara pernafasan bronchial mungkin terdengar dan mungkin juga bronchovesikuler
pada tepi daerah konsolidasi. Membrana mukosa dan konjungtiva kemerahan dan
terjadi vasa injeksi. Leleran mukus sampai mukopurulen dari mata sering
terlihat.
Diagnosa
Penentuan diagnosa didasarkan atas
gejala klinis, pemeriksaan auskultasi dan perkusi, pemeriksaan rontgen
(Subronto, 1995). Pemeriksaan sitologi dapat menunjukkan respon imun hewan dan
uji sensitivitas. Analisa pada leleran hidung penting untuk diagnosa pada
infeksi bakteri. Pneumonia yang disebabkan oleh virus biasanya menyebabkan
peningkatan temperatur tubuh awal (40-41ºC). Pada pemerksaan tinja akan
ditemukan telur-telur cacing, yang mungkin mempunyai kaitan dengan proses
radang paru-paru, karena larva cacing dalam perjalanannya dapat pula
mengakibatkan radang paru-paru (Subronto, 1995).
Pengobatan
Hewan harus ditempatkan pada
lingkungan yang kering, tidak lembab dan hangat, hewan diisolasi
(Subronto,1995). Pengobatan ditujukan untuk meniadakan penyebab radang,
obat-obat antibiotik dan obat sifatnya mendukung, misalnya ekspektoransia dan
terapi supportif.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Anonimus. 2011. Pneumonia Pada Anjing.
http://duniaveteriner.com
Resang. A.A., 1984. Patologi Khusus Veteriner.
Bogor.
Subronto. 2005. Ilmu Penyakit Ternak (Mamalia).
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar